Kemajuan Teknologi dan Informasi sebagai Sarana untuk Menjalankan Aktivitas Komersial: Studi Kasus atas Platform Tiktok-Shop yang Digugat oleh Para Pedagang Konvensional (Pasar) dan Pelaku UMKM

Gambar
  Oleh: Sentrisman Akhir-akhir ini, terjadi suatu fenomena yang begitu kontroversial dalam ranah komersial, yaitu perihal platform Tiktok-Shop yang digugat oleh para pedangan konvensional. Para pedagang konvensional ini antara lain pedagang konvensional di pasar dan pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Mereka mengalami kerugian yang begitu luar biasanya karena dagangan mereka menjadi sepi lantaran banyak para konsumen yang berpindah tempat kepada platform e-commerce yang bernama Tiktok-Shop untuk memenuhi kebutuhan. Salah satu pedagang yang protes dengan keadaan tersebut bernama Soleh (27 Tahun) yang mana ia mengaku bahwa omzetnya menurun karena adanya platform tersebut. Ia mengakui bahwa sebelum adanya platform Tiktok-Shop , dapat mengantongi uang hingga mencapai puluhan juta per harinya, tetapi kini ia mendapatkan pelanggan yang sepi, bahkan pernah mendapatkan satu pembeli saja dalam sehari (Indonesia, 2023) . Masih banyak lagi para pedagang dan pelaku UMKN yang...

Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif

Oleh : Sentrisman[1]

A.    Teori Hukum dan Kebenarannya

   Hukum pada umumnya dipahami sebagai seperangkat aturan yang digunakan untuk tercapainya ketertiban umum di dalam masyarakat. Hukum merupakan salah satu dari norma sosial yang berkembang di dalam masyarakat. Memanglah benar demikian jika hukum dipahami secara sederhana. Namun, memahami hukum tidaklah sampai di situ saja. Banyak sekali para ahli yang mendefinisikan hukum itu seperti apa, tapi tidaklah begitu pasti. Tidaklah begitu pasti, tidaklah sama dengan tidak dapat didefinisikan, sebab pada dasarnya hukum dapat didefinisikan, namun demikian sangatlah relative kebenarannya.

    Membicarakan hukum tidaklah terlepas dari kebenaran itu sendiri. Kebenaran dapatlah dijelaskan dengan begitu beragamnya, bergantung kepada apa yang dijadikan sebagai pijakannya untuk bisa meyakini bahwa sesuatu yang “ada” adalah kebenaran itu sendiri. Kebenaran dibagi ke dalam beberapa teori terkait kebenaran. Teori tersebut di antaranya Teori Kebenaran Korespondensi, Teori Kebenaran Koherensi, dan Kebenaran Pragmatis. Kebenaran Pragmatis tidaklah dibahas di dalam pembahasan ini, sebab Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif tidaklah termasuk pada kebenaran pragmatis.

     Teori Kebenaran Korespondensi adalah teori kebenaran yang menyatakan bahwa suatu pernyataan itu benar kalua isi pengetahua  yang terkandung di dalam pernyataan tersebut berkorespondensi (sesuai) dengan objek yang dirujuk oleh pernyataan tersebut. Jaminan kebenaran di sini adalah adanya kesamaan atau setidak-tidaknya kemiripan struktur antara apa yang dinyatakan dan suatu fakta objektif di dunia nyata yang dirujuk oleh pernyataan tersebut. Contohnya adalah “Gunung Gede terletak di  daerah Jawa Barat” itu benar karena isi pengetahuan yang terkandung dalam pernyataan tersebut sesuai dengan fakta geografis.[2]

     Berbeda dengan Teori Kebenaran Korespondensi, Teori Kebenaran Koherensi yang berakar pada dua hal, yaitu fakta bahwa matematika dan logika adalah sistem deduktif yang ciri hakikinya adalah konsistensi, dan sistem metafisika rasionalistik yang sering kali mengambil istilah dari matematika. Karena dua akar ini, maka tidaklah heran bahwa kaum Rasionalis dan Positivis Logis menekankan teori kebenaran ini, yang pada prinsipnya pernyataan tersebut haruslah koheren, konsisten.[3]

     Dari penjelasan singkat mengenai Kebenaran dan Teori-teorinya, setelah itu, apa kaitannya dengan Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif? Yang jelas adalah bahwa Teori Hukum Pembangunan menjadikan Kebenaran Koherensi sebagai tolak ukur kebenarannya, sedangkan Teori Hukum Progresi menjadikan Kebenaran Korespondensi sebagai tolak ukur kebenarannya.

B.    Teori Hukum Pembangunan

     Teori Hukum Pembangunan merupakan teori hukum yang digagas oleh Prof. Mochtar Kusumaatmadja. Beliau mendefinisikan hukum yaitu keseluruhan asas-asas dan kaidah yang mengatur kehidupan di dalam masyarakat, termasuk di dalamnya lembaga dan proses guna mewujudkan hukum itu dalam kenyataan. Definisi hukum tersebut hendak menunjukkan ruang lingkup yang meliputi asas, kaidah, lembaga, dan proses.[4] Asas dan kaidah menggambarkan ruang lingkup pembahasan hukum secara normative. Hukum dipahami sebagai aturan yang berisikan perintah dan larangan-larangan bersanksi sebagai pedoman yang mengatur kehidupan dalam masyarakat. Adapun kata lembaga dan proses menggambarkan persoalan hukum dalam konteks sosialnya dan hubungan timbal balik hukum dengan masyarakat, dimana hukum dipandang sebagai gejala sosial.[5]

Pandangan Mochtar Kusumaatmadja tentang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional, atau berdasarkan teori hukum pembangunan, yaitu semua masyarakat yang sedang membangun selalu dicirikan oleh perubahan dalam hukum berfungsi agar dapat menjamin perubahan itu dengan cara teratur dan dibantu oleh peraturan perundan-undangan atau keputusan pengadilan atau kompilasi keduanya. Baik perubahan maupun ketertiban (atau keteraturan) merupakan tujuan awal masyarakat yang sedang membangun, maka hukum menjadi suatu sarana (bukan alat) yang tidak dapat diabaikan dalam proses pembangunan, dan fungsi hukum dalam masyarakat adalah mempertahankan ketertiban dan kepastian hukum dan juga hukum sebagai kaidah sosial harus dapat mengatur (membantu) proses perubahan dalam masyarakat.[6]

Teori Hukum Pembangunan didasari oleh kebenaran koherensi, sebab pada intinya bahwa tujuan dari pada  hukum adalah ketertiban dan keteraturan, lalu juga kepastian hukum, setelah itu barulah keadilan. Oleh karena itu, jelas bahwa hukum normative sebagai dasar utama pemikiran hukum pembangunan harus diselaraskan dengan konsistensi atau koheren pada norma hukum yang sudah ada di dalam masyarakat (peraturan perundang-undangan, kebiasaan, traktat, putusan hakim, dan doktrin).

C.   Teori Hukum Progresif

     Teori Hukum Progresif merupakan teori hukum yang dikemukakan oleh (Alm) Prof. Satjipto Rahardjo. Dalam Teori Hukum Progresif, pada intinya Prof Tjip tidak memberikan penjelasan secara definitif mengenai apa itu hukum. Tetapi, inti dari pemikiran beliau terkait hukum dan fungsi serta peranan hukum dalam pembangunan dibedakan dalam dua hal yaitu bahwa hukum selalu ditempatkan untuk mencari landasan pengesahan atas suatu tindakan yang memegang teguh ciri prosedural dari dasar hukum dan dasar peraturan. Kedua yaitu bahwa hukum dalam pembangunan merupakan sifat instrumental yang dipandang telah mengalami pertukaran dengan kekuatan-kekuatan di luar hukum sehingga menjadi saluran untuk menjalankan keputusan politik atau menurut beliau, hukum sebagai sarana perekayasa social.

    Hukum Progresif memiliki beberapa poin terkait pemahaman hukumnya, yaitu Hukum menolak pendapat bahwa ketertiban (order) hanya bekerja melalui institusi-institusi kenegaraan, Hukum Progresif ditujukan untuk melindungi rakyat menuju kepada ideal hukum, Hukum menolak status-quo serta tidak ingin menjadikan hukum sebagai teknologi yang tidak bernurani, melainkan suatu institusi yang bermoral, Hukum adalah suatu institusi yang bertujuan untuk mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera, dan membuat manusia bahagia, Hukum progresif adalah “hukum yang pro rakyat” dan “hukum yang pro keadilan”. Asumsi dasar hukum progresif adalah bahwa hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Berkaitan dengan hal tersebut, maka hukum tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan lebih besar. Maka setiap kali ada masalah dalam dan dengan hukum, hukumlah yang ditinjau dan diperbaiki, bukan manusia yang dipaksakan untuk dimasukkan ke dalam sistem hukum, Hukum bukan merupakan suatu institusi yang absolut dan final, melainkan sangat bergantung pada bagaimana manusia melihat dan menggunakannya. Manusia merupakan penentu, serta Hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi (law as a process, law in the making).[7]

    Teori Hukum Progresif sangat berkebalikan dengan teori hukum pembangunan mengenai tolak ukur kebenaran yang mendasarinya, yaitu bahwa teori hukum progresif didasarkan pada kebenaran korespondensi, di mana pada kenyataan sosial yang terjadi di lapangan sering terjadi penyalahgunaan hukum oleh para penegak hukum atau elit politik. Sehingga, wajar jika penganut hukum progresif cenderung menolak status quo atau anti kemapanan. Teori Hukum Progresif merupakan reaksi atas kenyataan dan pengalaman tidak bekerjanya hukum. Hukum dijalankan dengan tidak bernurani, sehingga hukum tidak pro rakyat, hukum tidak memberikan kesejahteraan dan tidak membahagiakan rakyat. Teori ini juga merupakan reaksi atas keprihatinan Prof Tjip atas keterpurukan hukum di Indonesia. Masyarakat Indonesia diatur oleh hukum yang salah, yaitu hukum yang mengandung kecacatan sejak lahir. Untuk itu beliau mengajarkan bahwa hukum tidaklah sempurna. Hanya hukum Sang Pencipta yang memiliki kesempurnaan sejati, sedangkan manusia hanyalah sebatas pengrajin.[8]

 

Referensi

Imamuhaldi dan Ratu Durotun Nafisah, Hukum dan Keadilan, Ajaran Ahli Hukum Terkemuka, Yogyakarta : K-Media, 2015

J. Sudarminta, Epistemologi Dasar Pengantar Filsafat Pengetahuan, Yogyakarta : Kanisius, 2002

Romli Atmasasmita, Teori Hukum Integratif Rekonstruksi terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif, Yogyakarta : Genta Publishing, 2012



[1] Ditulis oleh penulis pada saat mengerjakan tugas paper Teori Hukum pada masa perkuliahan S2 di salah satu Fakultas Hukum di Kota Bandung tahun 2018.

[2] J. Sudarminta, Epistemologi Dasar Pengantar Filsafat Pengetahuan, Yogyakarta : Kanisius, 2002, hlm 131.

[3] Ibid., hlm 132.

[4] Imamuhaldi dan Ratu Durotun Nafisah, Hukum dan Keadilan, Ajaran Ahli Hukum Terkemuka, Yogyakarta : K-Media, 2015, hlm 93.

[5] Loc.cit.

[6] Romli Atmasasmita, Teori Hukum Integratif Rekonstruksi terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif, Yogyakarta : Genta Publishing, 2012, hlm 65.

[7] Ibid., hlm 89.

[8] Imamuhaldi dan Ratu Durotun Nafisah, Op.Cit, hlm 100.

Postingan populer dari blog ini

Seksisme sebagai Budaya Patriarki di Indonesia

Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 13/PUU-XVI/2018 mengenai Perkara Pengujian Undang-Undang No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (Pendapat Hukum)

Aliran-Aliran dalam Teori dan Filsafat Hukum