Kemajuan Teknologi dan Informasi sebagai Sarana untuk Menjalankan Aktivitas Komersial: Studi Kasus atas Platform Tiktok-Shop yang Digugat oleh Para Pedagang Konvensional (Pasar) dan Pelaku UMKM

Oleh:
Sentrisman
A. Pengantar
Seksisme secara umum dapat diketahui sebagai jalan
untuk melakukan tindakan diskriminasi berdasarkan pada gender yang melekat dalam
diri individu manusia. Hal ini didasarkan pada kondisi di mana laki-laki dan
perempuan dinilai sebagai dua entitas manusia yang dianggap tidak setara satu
sama lain, sehingga memunculkan stereotip kepada entitas tertentu berdasarkan
pada gender yang dilekatkannya.
Persoalannya adalah bahwa seksisme terjadi justru
diarahkan kepada perempuan, yang mana mereka merupakan entitas yang dianggap
lebih lemah dari pada laki-laki, sehingga perempuan disebut sebagai entitas
yang inferior dari pada laki-laki.
Perempuan dianggap lebih lemah karena kekuatan fisiknya yang tidak sekuat
laki-laki, sehingga laki-laki dinilai lebih superior. Akibatnya, laki-laki
seringkali melakukan tindakan yang jauh lebih semena-mena terhadap perempuan
dan perbuatan yang dinilai “nakal” akan dianggap hal yang wajar dan biasa jika
dilakukan oleh laki-laki, sedangkan perempuan dianggap lebih murahan, tidak suci,
dan rendahan jika perempuan bertindak nakal layaknya laki-laki. Misalnya adalah
jika laki-laki merokok, melakukan pergaulan bebas, pulang di larut malam, dan
sebagainya, maka adalah hal yang wajar jika itu dilakukan oleh laki-laki, tetapi
jika yang melakukan hal-hal tersebut adalah perempuan, maka dianggap sebagai
perempuan yang tidak benar, tidak baik, murahan, rendahan, dan sebagainya.
Permasalahan-permasalahan yang ada tersebut seperti
yang dicontohkan di atas, maka tidak heran jika seksisme hadir dengan jalan
melaksanakan upaya merendahkan derajat perempuan hanya karena melakukan hal
yang dianggap “lumrah” dilakukan oleh
laki-laki tadi. Hal inilah yang menyebabkan bahwa budaya patriarki berkembang
semakin pesat di dalam masyarakat, khususnya masyarakat Indonesia. Oleh
karenanya tidaklah heran jika Seksisme memberikan jalan untuk melakukan
Diskriminasi berdasarkan pada gender itu sendiri.
Seksisme secara historis lahir dari kehidupan
masyarakat yang sudah mulai menetap, di mana manusia dalam bermasyarakat sudah
melakukan pembagian kerja. Pembagian kerja ini dahulu didasarkan pada kekuatan
biologis dari entitas-entitas manusia tersebut, misalnya bahwa laki-laki
melakukan pekerjaan yang berada di luar rumah seperti bertani, berburu,
berpolitik, menjadi pemimpin, dan sebagainya. Sedangkan perempuan hanya diberikan
pembagian kerja yang bersifat domestik yaitu mengurus rumah, mengurus dapur,
mengurus anak, dan sejenisnya. Pembagian ini yang berpotensi menjadikan
perempuan dinilai sebagai entitas lemah dan inferior
dalam masyarakat, bahkan diperkuat dengan nilai dan norma yang telah disepakati
pada masyarakat tersebut.
Kemudian yang menjadi isu penting daripada seksisme
tersebut berangkat dari menguatnya nilai dan norma yang disepakati masyarakat,
yang secara ideologis disebut sebagai Konservatifme. Konservatifme merupakan
ideologi politik atau pandangan politik yang menghendaki adanya tatanan
hierarki dalam masyarakat, di mana pada tatanan paling tinggi ini justru
dipegang oleh entitas manusia yang bernama laki-laki, bukanlah perempuan.
Laki-laki adalah segalanya, khususnya dalam urusan menentukan sebuah keputusan
sosial politik dan perempuan mau tidak mau hanya dapat menurutinya saja.
Perempuan tidak punya hak untuk terlibat dalam urusan yang demikian karena
hanya dianggap mengganggu dan terlalu emosional, sehingga perempuan tidak memiliki
tempat untuk berkontribusi dalam ranah sosial politik. Akibatnya, perempuan
dalam kehidupan sosial hanya menjalankan pekerjaan sebagai Ibu Rumah Tangga
saja dan tidak boleh melakukan pekerjaan yang dilakukan oleh laki-laki.
Selanjutnya, seksisme ini merambah pada hal yang
sifatnya lebih luas, yaitu pada ranah gaya hidup. Sejak kecil, anak-anak
dididik dengan gaya hidup yang berbeda berdasarkan pada gendernya. Jika
anak-anak tersebut adalah laki-laki, maka anak tersebut harus dididik layaknya
laki-laki sejati yang telah tersepakati seperti bermain pedang-pedangan,
menggunakan pakaian yang tidak berwarna merah muda, membiasakan diri untuk
mengepalkan tangan dan berdiri tegap, sedangkan perempuan dididik untuk
memasak, mengurus pakaian, menggunakan pakaian berwarna pink, dan bersikap
anggun. Hal-hal tersebutlah yang menjadikan fenomena seksisme semakin marak di
masyarakat Indonesia.
Masih banyak sekali permasalahan yang berkaitan
dengan seksisme tersebut sebagai bagian daripada budaya patriarki di Indonesia.
Seksisme berpotensi mendorong perempuan untuk diobjektivikasi oleh laki-laki
hanya karena kedudukan perempuan secara sosial dinilai sangat inferior dari pada laki-laki.
Objektivikasi tersebut lebih lanjut dapat mengarah pada adanya kekerasan seksual
yang terjadi dan dialami oleh perempuan oleh laki-laki.
Fenomena seksisme semakin marak terjadi di
masyarakat kita dan perlu sekiranya dikritisi demi terciptanya tatanan
masyarakat yang menjunjung tinggi kesetaraan dan keadilan berbasis gender.
B. Pembahasan
Seksisme secara kebahasaan merupakan bagian
daripada simbol keterwakilan perilaku kehidupan manusia. Penggunaan daripada
seksis sebagai persoalan bahasa di kehidupan sehari-hari memberikan petunjuk
bahwa adanya perbedaan gender yang terbentuk berdasarkan proses sosialisasi
yang dikonstruksi bersama dan semakin terlegitimasi pada norma-norma yang
berlaku bahkan negara. Kata “seksis” secara kebahasaan dapat diartikan sebagai
ungkapan yang memosisikan salah satu gender pada tataran subordinasi yang
inferior atau tidak setara, sebagaimana Holmes
“Sexist language is one example of the way a culture or society convey
its values from one group to another and from one generation to the next.”
Penjelasannya adalah bahwa bahasa seksis adalah
salah satu contoh upaya dari suatu budaya masyarakat untuk menyampaikan
nilai-nilai dari satu kelompok kepada kelompok yang lain dan dari satu generasi
ke generasi selanjutnya. Kemudian Cameron
“Sexist language that expresses bias in favour of one sex and thus
treats the other sex in discrimination.”
Artinya adalah bahasa seksis memberikan ungkapan
bias yang mendukung satu jenis kelamin dan memberlakukan jenis kelamin lain
sebagai hal yang layak untuk didiskriminasikan.
Maka, secara kebahasaan pun bahwa seksis merupakan
bahasa yang mewakilkan laki-laki dan perempuan secara tidak setara di mana para
anggota dari kelompok gender yang satu dianggap lebih rendah secara
kemanusiaan, lebih sederhana, dan memiliki hak-hak yang lebih sedikit dari pada
anggota lainnya, yang dalam hal ini adalah hak-hak laki-laki di dalam
masyarakat lebih dominan dari pada hak-hak perempuan. Biasanya, bahasa seksis
sendiri memberikan petunjuk untuk yang bersifat stereorip mengenai laki-laki
dan perempuan yang terkadang pula keduanya dirugikan, tetapi lebih cenderung
perempuan yang dirugikan.
Dalam penggunaan bahasa di Indonesia, khususnya
Bahasa Indonesia, memunculkan berbagai kesan yang menunjukkan bahwa bahasa
Indonesia dinilai memiliki problematikanya dengan gender. Di antaranya yakni
bertalian dengan kata “perempuan” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia atau
munculnya istilah baru sejenis dengan akhiran -wan/-man dan -wati yang
sebelumnya tidak begitu banyak untuk digunakan. Sekilas bahwa pembentukan
berbagai macam istilah baru yang merujuk pada perempuan dalam berbagai kegiatan
dan profesi ini sangatlah mirip dengan politik bahasa yang dilakukan para
feminis di negara-negara Barat
Selain permasalahan seksisme secara kebahasaan,
seksisme marak terjadi pada ranah budaya pop media di Indonesia. Hal tersebut
terjadi karena sampai saat ini sudah menjadi trend tersendiri untuk membicarakan persoalan ketidakadilan kondisi
hubungan antar jenis kelamin, khususnya bertalian dengan pembicaraan atas
hubungan laki-laki dan perempuan yang selalu menjadi tema yang begitu
merangsang.
Dalam ranah budaya pop media di Indonesia, seks dan
kekerasan selalu dijadikan sebagai bagian utama film-film dan program-program
televisi yang dapat dijual. Begitu juga dengan iklan yang tidak melulu
menjadikan perempuan sebagai komoditas (objek), namun pula menjadi pemotretan
perempuan dalam gaya-gaya yang dinilai tidak senonoh dan sikap perempuan
tersebut sangatlah penurut. Sedangkan laki-laki cenderung dipotretkan dalam
peranan yang statusnya lebih tinggi di dalam mendominasi perempuan. Artinya,
perempuan selalu diberikan peran sebagai sosok yang menjadi objek bagi
laki-laki. Kesannya yakni laki-laki selalu dipandang lebih penting dan serius,
serta perempuan dianggap tidak penting dalam perannya atau pemeran sekunder
Lebih buruknya adalah bahwa pada film-film yang
bertemakan kriminalitas, kekerasan selalu ditujukan kepada perempuan dan
anak-anak untuk memikat penonton laki-laki dengan melakukan pertunjukkan
persenjataan yang begitu canggih yang berguna sebagai simbol superioritas
laki-laki. Begitu pula dengan pornografi yang mana layak untuk dicela, yang
dalam hal ini bukan berarti tidak senonoh atau memberikan tontonan yang begitu
eksplisit terkait seksnya, tetapi merendahkan perempuan secara fisik maupun
seksual. Jika tontonan tersebut merupakan tontonan yang biasa ditonton oleh
perempuan, tidaklah heran bahwa kekerasan seksual kepada perempuan dinilai
sebagai hal yang remeh-temeh
Kemudian permasalahan seksisme pula di Indonesia
terjadi dalam dunia keprofesian, misalnya jika seorang perempuan berprofesi
sebagai kuli panggul. Masih merupakan sebuah pembicaraan yang begitu hangat
yang terjadi di kalangan masyarakat perihal stigma buruk kepada perempuan yang
bekerja. Penempatan perempuan pada aktivitas yang bersifat domestik itulah yang
menjadikan perempuan memiliki ruang gerak yang lebih terbatas. Pembagian peran
ini menyebabkan munculnya berbagai anggapan terhadap perempuan, salah satunya
sebagai the human second. Istilah
tersebut mengarahkan bahwa perempuan dianggap kurang sempurna dalam hal
kemampuan dan penalaran jika dibandingkan dengan laki-laki. Hal tersebut
mengarah pada kesenjangan peran di dunia pekerjaan yang sering terjadi di kota-kota
besar di Indonesia. Seksisme memberikan dampak besar pada patriarki, yang mana
sering menjadi penghambat perempuan untuk berkecimpung di dalam sektor
produktif, tidak terkecuali pada kuli panggul yang justru dijalankan oleh
perempuan. Maka tidaklah heran jika nyatanya pekerjaan kuli panggul, yang
semestinya dilakukan oleh laki-laki dan justru dilakukan oleh perempuan, maka
perempuan tersebut menerima kata hinaan dari tetangga dan kerabat dekat di
kampungnya
Meskipun demikian, nyatanya bahwa perjuangan para
perempuan yang begitu hebatnya tersebut untuk memperjuangkan kehidupan yang
layak untuk anak-anaknya merupakan hal yang hebat pula. Bekerja dengan fisik
sebagaimana laki-laki, menerima berbagai hinaan yang dilemparkan oleh
masyarakat membuatnya mampu mempertahankan keberadaannya di tengah maraknya
budaya seksisme sebagai budaya patriarki masyarakat Indonesia
Dari permasalahan yang berkaitan dengan perempuan
yang bekerja sebagai kuli panggul dan mendapatkan hujatan yang begitu luar
biasa dari masyarakat banyak, maka seksisme menjadi sebuah masalah besar
mengarah pada “Sexist Hate Speech”. Sexist Hate Speech merupakan
permasalahan yang lebih berbahaya bagi perempuan karena menormalisasi
diskriminasi dan penghinaan. Tindakan tersebut merupakan tindakan untuk
menyebarkan, menghasut, mempromosikan atau membenarkan kebencian berdasarkan
jenis kelamin. Tindakan tersebut secara umum mempunyai ragam daripada bentuknya
baik secara online maupun offline. Jenis-jenis tindakan tersebut
antara lain bercadarkan Council of Europe
Gender Equality Strategy, 2017
1.
Menyalahkan
korban;
2.
Body shaming;
3.
Revenge porn
(berbagi gambar eksplisit atau seksual tanpa persetujuan);
4.
Ancaman kematian
yang brutal;
5.
Pemerkosaan dan
kekerasan;
6.
Komentar yang
menyinggung tentang penampilan;
7.
Seksualitas;
8.
Orientasi
seksual atau peran gender;
9.
Pujian palsu
atau lelucon;
10. Humor untuk mempermalukan; dan
11. Mengolok-ngolok target.
Tindakan Sexist
Hate Speech ini pada akhirnya berujung pada tindakan kekerasan seksual yang
terjadi di Indonesia, di mana menurut catatan tahunan Komnas Perempuan
Indonesia tahun 2017, kekerasan seksual di masyarakat Indonesia pada tahun
tersebut saja telah mencapai angka 3092 kasus atau 22% yang terdiri dari
kekerasan seksual menempati peringkat petama sebanyak 2.290 kasus atau 74%
dengan diikuti kekerasan fisik sebanyak 490 kasus atau 16%
C. Kesimpulan
Berdasarkan pada pembahasan di atas, maka dapat
diketahui kesimpulannya sebagaimana berikut:
· Secara
kebahasaan, seksisme dinilai sebagai permasalahan kebahasaan yang mana
memungkinkan terjadinya diskriminasi secara Bahasa dan terkesan sebagai politik
bahasa.
· Seksisme telah
merambah pada budaya pop media di Indonesia, yang mana perempuan dijadikan
sebagai komoditas media, baik pada film, tayangan televisi, dan periklanan.
· Permasalahan
seksisme terjadi pula pada sektor pekerjaan atau keprofesian, salah satunya
adalah bekerja sebagai kuli panggul, yang nyatanya jika dilakukan oleh
perempuan justru terjadi hujatan yang luar biasa diberikan oleh masyarakat.
· Seksisme pada
akhirnya menjadi senjata untuk menunjukkan kebencian dan berujung dengan adanya
kekerasan seksual dan bahkan kekerasan fisik.
REFERENSI
Drakel, J.
A., & Setyawan, K. G. (2022). Eksistensi Kuli Panggul Perempuan di Pasar
Pabean Surabaya di Tengah Maraknya Budaya Seksisme. Dialektika Pendidikan
IPS, 1(1).
Farihah, I. (2013). Seksisme Perempuan dalam Budaya Pop
Media Indonesia. PALASTREN, 6(1).
Jannah, P. M. (2021). Pelecehan Seksual, Seksisme, dan
Pendekatan Bystander. Psikobuletin: Buletin Ilmiah Psikologi, 2(1).
Sholikhati, N. I., Wijayanti, L. T., &
Verrysaputro, E. A. (2022). Bahasa Seksis dan Sikap Seksisme dalam Bahasa
Indonesia. Aliterasi: Jurnal Pendidikan, Bahasan dan Sastra, 2(2).
Sitompul, L. U. (2021). Sexist Hate Speech terhadap
Perempuan di Media: Perwujudan Patriarki di Ruang Publik. e-Journal
Pendidikan Sosiologi Universitas Pendidikan Ganesha, 3(3).