Kemajuan Teknologi dan Informasi sebagai Sarana untuk Menjalankan Aktivitas Komersial: Studi Kasus atas Platform Tiktok-Shop yang Digugat oleh Para Pedagang Konvensional (Pasar) dan Pelaku UMKM

Gambar
  Oleh: Sentrisman Akhir-akhir ini, terjadi suatu fenomena yang begitu kontroversial dalam ranah komersial, yaitu perihal platform Tiktok-Shop yang digugat oleh para pedangan konvensional. Para pedagang konvensional ini antara lain pedagang konvensional di pasar dan pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Mereka mengalami kerugian yang begitu luar biasanya karena dagangan mereka menjadi sepi lantaran banyak para konsumen yang berpindah tempat kepada platform e-commerce yang bernama Tiktok-Shop untuk memenuhi kebutuhan. Salah satu pedagang yang protes dengan keadaan tersebut bernama Soleh (27 Tahun) yang mana ia mengaku bahwa omzetnya menurun karena adanya platform tersebut. Ia mengakui bahwa sebelum adanya platform Tiktok-Shop , dapat mengantongi uang hingga mencapai puluhan juta per harinya, tetapi kini ia mendapatkan pelanggan yang sepi, bahkan pernah mendapatkan satu pembeli saja dalam sehari (Indonesia, 2023) . Masih banyak lagi para pedagang dan pelaku UMKN yang...

Seksisme sebagai Budaya Patriarki di Indonesia

 


Oleh: Sentrisman

A.  Pengantar

Seksisme secara umum dapat diketahui sebagai jalan untuk melakukan tindakan diskriminasi berdasarkan pada gender yang melekat dalam diri individu manusia. Hal ini didasarkan pada kondisi di mana laki-laki dan perempuan dinilai sebagai dua entitas manusia yang dianggap tidak setara satu sama lain, sehingga memunculkan stereotip kepada entitas tertentu berdasarkan pada gender yang dilekatkannya.

Persoalannya adalah bahwa seksisme terjadi justru diarahkan kepada perempuan, yang mana mereka merupakan entitas yang dianggap lebih lemah dari pada laki-laki, sehingga perempuan disebut sebagai entitas yang inferior dari pada laki-laki. Perempuan dianggap lebih lemah karena kekuatan fisiknya yang tidak sekuat laki-laki, sehingga laki-laki dinilai lebih superior. Akibatnya, laki-laki seringkali melakukan tindakan yang jauh lebih semena-mena terhadap perempuan dan perbuatan yang dinilai “nakal” akan dianggap hal yang wajar dan biasa jika dilakukan oleh laki-laki, sedangkan perempuan dianggap lebih murahan, tidak suci, dan rendahan jika perempuan bertindak nakal layaknya laki-laki. Misalnya adalah jika laki-laki merokok, melakukan pergaulan bebas, pulang di larut malam, dan sebagainya, maka adalah hal yang wajar jika itu dilakukan oleh laki-laki, tetapi jika yang melakukan hal-hal tersebut adalah perempuan, maka dianggap sebagai perempuan yang tidak benar, tidak baik, murahan, rendahan, dan sebagainya.

Permasalahan-permasalahan yang ada tersebut seperti yang dicontohkan di atas, maka tidak heran jika seksisme hadir dengan jalan melaksanakan upaya merendahkan derajat perempuan hanya karena melakukan hal yang dianggap “lumrah”  dilakukan oleh laki-laki tadi. Hal inilah yang menyebabkan bahwa budaya patriarki berkembang semakin pesat di dalam masyarakat, khususnya masyarakat Indonesia. Oleh karenanya tidaklah heran jika Seksisme memberikan jalan untuk melakukan Diskriminasi berdasarkan pada gender itu sendiri.

Seksisme secara historis lahir dari kehidupan masyarakat yang sudah mulai menetap, di mana manusia dalam bermasyarakat sudah melakukan pembagian kerja. Pembagian kerja ini dahulu didasarkan pada kekuatan biologis dari entitas-entitas manusia tersebut, misalnya bahwa laki-laki melakukan pekerjaan yang berada di luar rumah seperti bertani, berburu, berpolitik, menjadi pemimpin, dan sebagainya. Sedangkan perempuan hanya diberikan pembagian kerja yang bersifat domestik yaitu mengurus rumah, mengurus dapur, mengurus anak, dan sejenisnya. Pembagian ini yang berpotensi menjadikan perempuan dinilai sebagai entitas lemah dan inferior dalam masyarakat, bahkan diperkuat dengan nilai dan norma yang telah disepakati pada masyarakat tersebut.

Kemudian yang menjadi isu penting daripada seksisme tersebut berangkat dari menguatnya nilai dan norma yang disepakati masyarakat, yang secara ideologis disebut sebagai Konservatifme. Konservatifme merupakan ideologi politik atau pandangan politik yang menghendaki adanya tatanan hierarki dalam masyarakat, di mana pada tatanan paling tinggi ini justru dipegang oleh entitas manusia yang bernama laki-laki, bukanlah perempuan. Laki-laki adalah segalanya, khususnya dalam urusan menentukan sebuah keputusan sosial politik dan perempuan mau tidak mau hanya dapat menurutinya saja. Perempuan tidak punya hak untuk terlibat dalam urusan yang demikian karena hanya dianggap mengganggu dan terlalu emosional, sehingga perempuan tidak memiliki tempat untuk berkontribusi dalam ranah sosial politik. Akibatnya, perempuan dalam kehidupan sosial hanya menjalankan pekerjaan sebagai Ibu Rumah Tangga saja dan tidak boleh melakukan pekerjaan yang dilakukan oleh laki-laki.

Selanjutnya, seksisme ini merambah pada hal yang sifatnya lebih luas, yaitu pada ranah gaya hidup. Sejak kecil, anak-anak dididik dengan gaya hidup yang berbeda berdasarkan pada gendernya. Jika anak-anak tersebut adalah laki-laki, maka anak tersebut harus dididik layaknya laki-laki sejati yang telah tersepakati seperti bermain pedang-pedangan, menggunakan pakaian yang tidak berwarna merah muda, membiasakan diri untuk mengepalkan tangan dan berdiri tegap, sedangkan perempuan dididik untuk memasak, mengurus pakaian, menggunakan pakaian berwarna pink, dan bersikap anggun. Hal-hal tersebutlah yang menjadikan fenomena seksisme semakin marak di masyarakat Indonesia.

Masih banyak sekali permasalahan yang berkaitan dengan seksisme tersebut sebagai bagian daripada budaya patriarki di Indonesia. Seksisme berpotensi mendorong perempuan untuk diobjektivikasi oleh laki-laki hanya karena kedudukan perempuan secara sosial dinilai sangat inferior dari pada laki-laki. Objektivikasi tersebut lebih lanjut dapat mengarah pada adanya kekerasan seksual yang terjadi dan dialami oleh perempuan oleh laki-laki.

Fenomena seksisme semakin marak terjadi di masyarakat kita dan perlu sekiranya dikritisi demi terciptanya tatanan masyarakat yang menjunjung tinggi kesetaraan dan keadilan berbasis gender.

B.   Pembahasan

Seksisme secara kebahasaan merupakan bagian daripada simbol keterwakilan perilaku kehidupan manusia. Penggunaan daripada seksis sebagai persoalan bahasa di kehidupan sehari-hari memberikan petunjuk bahwa adanya perbedaan gender yang terbentuk berdasarkan proses sosialisasi yang dikonstruksi bersama dan semakin terlegitimasi pada norma-norma yang berlaku bahkan negara. Kata “seksis” secara kebahasaan dapat diartikan sebagai ungkapan yang memosisikan salah satu gender pada tataran subordinasi yang inferior atau tidak setara, sebagaimana Holmes (Sholikhati, Wijayanti, & Verrysaputro, 2022) menyatakan:

“Sexist language is one example of the way a culture or society convey its values from one group to another and from one generation to the next.”

Penjelasannya adalah bahwa bahasa seksis adalah salah satu contoh upaya dari suatu budaya masyarakat untuk menyampaikan nilai-nilai dari satu kelompok kepada kelompok yang lain dan dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Kemudian Cameron (Sholikhati, Wijayanti, & Verrysaputro, 2022) menguatkan argumen Holmes tersebut dengan menyatakan bahwa:

“Sexist language that expresses bias in favour of one sex and thus treats the other sex in discrimination.”

Artinya adalah bahasa seksis memberikan ungkapan bias yang mendukung satu jenis kelamin dan memberlakukan jenis kelamin lain sebagai hal yang layak untuk didiskriminasikan.

Maka, secara kebahasaan pun bahwa seksis merupakan bahasa yang mewakilkan laki-laki dan perempuan secara tidak setara di mana para anggota dari kelompok gender yang satu dianggap lebih rendah secara kemanusiaan, lebih sederhana, dan memiliki hak-hak yang lebih sedikit dari pada anggota lainnya, yang dalam hal ini adalah hak-hak laki-laki di dalam masyarakat lebih dominan dari pada hak-hak perempuan. Biasanya, bahasa seksis sendiri memberikan petunjuk untuk yang bersifat stereorip mengenai laki-laki dan perempuan yang terkadang pula keduanya dirugikan, tetapi lebih cenderung perempuan yang dirugikan.

Dalam penggunaan bahasa di Indonesia, khususnya Bahasa Indonesia, memunculkan berbagai kesan yang menunjukkan bahwa bahasa Indonesia dinilai memiliki problematikanya dengan gender. Di antaranya yakni bertalian dengan kata “perempuan” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia atau munculnya istilah baru sejenis dengan akhiran -wan/-man dan -wati yang sebelumnya tidak begitu banyak untuk digunakan. Sekilas bahwa pembentukan berbagai macam istilah baru yang merujuk pada perempuan dalam berbagai kegiatan dan profesi ini sangatlah mirip dengan politik bahasa yang dilakukan para feminis di negara-negara Barat (Sholikhati, Wijayanti, & Verrysaputro, 2022).

Selain permasalahan seksisme secara kebahasaan, seksisme marak terjadi pada ranah budaya pop media di Indonesia. Hal tersebut terjadi karena sampai saat ini sudah menjadi trend tersendiri untuk membicarakan persoalan ketidakadilan kondisi hubungan antar jenis kelamin, khususnya bertalian dengan pembicaraan atas hubungan laki-laki dan perempuan yang selalu menjadi tema yang begitu merangsang.

Dalam ranah budaya pop media di Indonesia, seks dan kekerasan selalu dijadikan sebagai bagian utama film-film dan program-program televisi yang dapat dijual. Begitu juga dengan iklan yang tidak melulu menjadikan perempuan sebagai komoditas (objek), namun pula menjadi pemotretan perempuan dalam gaya-gaya yang dinilai tidak senonoh dan sikap perempuan tersebut sangatlah penurut. Sedangkan laki-laki cenderung dipotretkan dalam peranan yang statusnya lebih tinggi di dalam mendominasi perempuan. Artinya, perempuan selalu diberikan peran sebagai sosok yang menjadi objek bagi laki-laki. Kesannya yakni laki-laki selalu dipandang lebih penting dan serius, serta perempuan dianggap tidak penting dalam perannya atau pemeran sekunder (Farihah, 2013).

Lebih buruknya adalah bahwa pada film-film yang bertemakan kriminalitas, kekerasan selalu ditujukan kepada perempuan dan anak-anak untuk memikat penonton laki-laki dengan melakukan pertunjukkan persenjataan yang begitu canggih yang berguna sebagai simbol superioritas laki-laki. Begitu pula dengan pornografi yang mana layak untuk dicela, yang dalam hal ini bukan berarti tidak senonoh atau memberikan tontonan yang begitu eksplisit terkait seksnya, tetapi merendahkan perempuan secara fisik maupun seksual. Jika tontonan tersebut merupakan tontonan yang biasa ditonton oleh perempuan, tidaklah heran bahwa kekerasan seksual kepada perempuan dinilai sebagai hal yang remeh-temeh (Farihah, 2013).

Kemudian permasalahan seksisme pula di Indonesia terjadi dalam dunia keprofesian, misalnya jika seorang perempuan berprofesi sebagai kuli panggul. Masih merupakan sebuah pembicaraan yang begitu hangat yang terjadi di kalangan masyarakat perihal stigma buruk kepada perempuan yang bekerja. Penempatan perempuan pada aktivitas yang bersifat domestik itulah yang menjadikan perempuan memiliki ruang gerak yang lebih terbatas. Pembagian peran ini menyebabkan munculnya berbagai anggapan terhadap perempuan, salah satunya sebagai the human second. Istilah tersebut mengarahkan bahwa perempuan dianggap kurang sempurna dalam hal kemampuan dan penalaran jika dibandingkan dengan laki-laki. Hal tersebut mengarah pada kesenjangan peran di dunia pekerjaan yang sering terjadi di kota-kota besar di Indonesia. Seksisme memberikan dampak besar pada patriarki, yang mana sering menjadi penghambat perempuan untuk berkecimpung di dalam sektor produktif, tidak terkecuali pada kuli panggul yang justru dijalankan oleh perempuan. Maka tidaklah heran jika nyatanya pekerjaan kuli panggul, yang semestinya dilakukan oleh laki-laki dan justru dilakukan oleh perempuan, maka perempuan tersebut menerima kata hinaan dari tetangga dan kerabat dekat di kampungnya (Drakel & Setyawan, 2022).

Meskipun demikian, nyatanya bahwa perjuangan para perempuan yang begitu hebatnya tersebut untuk memperjuangkan kehidupan yang layak untuk anak-anaknya merupakan hal yang hebat pula. Bekerja dengan fisik sebagaimana laki-laki, menerima berbagai hinaan yang dilemparkan oleh masyarakat membuatnya mampu mempertahankan keberadaannya di tengah maraknya budaya seksisme sebagai budaya patriarki masyarakat Indonesia (Drakel & Setyawan, 2022).

Dari permasalahan yang berkaitan dengan perempuan yang bekerja sebagai kuli panggul dan mendapatkan hujatan yang begitu luar biasa dari masyarakat banyak, maka seksisme menjadi sebuah masalah besar mengarah pada “Sexist Hate Speech”. Sexist Hate Speech merupakan permasalahan yang lebih berbahaya bagi perempuan karena menormalisasi diskriminasi dan penghinaan. Tindakan tersebut merupakan tindakan untuk menyebarkan, menghasut, mempromosikan atau membenarkan kebencian berdasarkan jenis kelamin. Tindakan tersebut secara umum mempunyai ragam daripada bentuknya baik secara online maupun offline. Jenis-jenis tindakan tersebut antara lain bercadarkan Council of Europe Gender Equality Strategy, 2017 (Sitompul, 2021):

1.    Menyalahkan korban;

2.    Body shaming;

3.    Revenge porn (berbagi gambar eksplisit atau seksual tanpa persetujuan);

4.    Ancaman kematian yang brutal;

5.    Pemerkosaan dan kekerasan;

6.    Komentar yang menyinggung tentang penampilan;

7.    Seksualitas;

8.    Orientasi seksual atau peran gender;

9.    Pujian palsu atau lelucon;

10. Humor untuk mempermalukan; dan

11. Mengolok-ngolok target.

Tindakan Sexist Hate Speech ini pada akhirnya berujung pada tindakan kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia, di mana menurut catatan tahunan Komnas Perempuan Indonesia tahun 2017, kekerasan seksual di masyarakat Indonesia pada tahun tersebut saja telah mencapai angka 3092 kasus atau 22% yang terdiri dari kekerasan seksual menempati peringkat petama sebanyak 2.290 kasus atau 74% dengan diikuti kekerasan fisik sebanyak 490 kasus atau 16% (Jannah, 2021).

C.   Kesimpulan

Berdasarkan pada pembahasan di atas, maka dapat diketahui kesimpulannya sebagaimana berikut:

·   Secara kebahasaan, seksisme dinilai sebagai permasalahan kebahasaan yang mana memungkinkan terjadinya diskriminasi secara Bahasa dan terkesan sebagai politik bahasa.

·   Seksisme telah merambah pada budaya pop media di Indonesia, yang mana perempuan dijadikan sebagai komoditas media, baik pada film, tayangan televisi, dan periklanan.

·   Permasalahan seksisme terjadi pula pada sektor pekerjaan atau keprofesian, salah satunya adalah bekerja sebagai kuli panggul, yang nyatanya jika dilakukan oleh perempuan justru terjadi hujatan yang luar biasa diberikan oleh masyarakat.

·    Seksisme pada akhirnya menjadi senjata untuk menunjukkan kebencian dan berujung dengan adanya kekerasan seksual dan bahkan kekerasan fisik.

 

REFERENSI

Drakel, J. A., & Setyawan, K. G. (2022). Eksistensi Kuli Panggul Perempuan di Pasar Pabean Surabaya di Tengah Maraknya Budaya Seksisme. Dialektika Pendidikan IPS, 1(1).

Farihah, I. (2013). Seksisme Perempuan dalam Budaya Pop Media Indonesia. PALASTREN, 6(1).

Jannah, P. M. (2021). Pelecehan Seksual, Seksisme, dan Pendekatan Bystander. Psikobuletin: Buletin Ilmiah Psikologi, 2(1).

Sholikhati, N. I., Wijayanti, L. T., & Verrysaputro, E. A. (2022). Bahasa Seksis dan Sikap Seksisme dalam Bahasa Indonesia. Aliterasi: Jurnal Pendidikan, Bahasan dan Sastra, 2(2).

Sitompul, L. U. (2021). Sexist Hate Speech terhadap Perempuan di Media: Perwujudan Patriarki di Ruang Publik. e-Journal Pendidikan Sosiologi Universitas Pendidikan Ganesha, 3(3).

Postingan populer dari blog ini

Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 13/PUU-XVI/2018 mengenai Perkara Pengujian Undang-Undang No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (Pendapat Hukum)

Aliran-Aliran dalam Teori dan Filsafat Hukum